Rabu, 09 September 2009

Resensi DDID

JEJAK RISALAH

DAN DASAR-DASAR DA'WAH


ISLAM AGAMA RISALAH DAN DA’WAH

1. WAHYU MEMANGGIL FITTHRAH – FITHRAH MENGHAJATKAN WAHYU


“Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui.”(saba: 28)

Risalah yang dipikulkan kepada Rasulullah Muhammad s.a.w. Adapun isi risalah tersebut mencakup berita gembira dan peringatan, yang menjadi objek risalah adalah kepada seluluh umat manusia.

Kepada seluruh manusia risalah disampaikan berita yang menggembirakan dan peringatan sebagaimana yang telah dijelaskan dalam ayat diatas, yang menjadi objeknya adalah manusia yang sempurna dibandingkan dengan makhluk lain yang Allah ciptakan yang ada di muka bumi ini.

Manusia mempunyai jasad dan ruh, mempunyai pancaindra untuk mengenal alam luar bersosialisasi dengan manusia yang lainnya, manusia memiliki napsu yang menjadi pelengkap keperluan hidup, mempunyai akal untuk berfikir, mempunyai hati untuk merasa mana yang baik dan mana yang buruk, melakukan sebuah perubahan kepada arah yang lebih baik.

Intisari dari risalah yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w. ialah petunjuk, pedoman, bagaimana manusia menjaga nilai dan martabat kemanusiaannya itu, supaya jangan sampai meluncur kepada arah yang tidak diridhoi Allah. Akan tetapi seharusnya supaya bakat potensinya dapat berkembang, mutunya meningkat mencapai yang lebih tinggi.

Peringatan, bahwa pada umumnya derajat manusia tidak tentu bisa naik dan bisa jga turun dengan serendah-rendahnya bahkan melebihi dari hewan, namun dalam Quran di jelaskan dengan tegas bahwasannya “ kecuuali mereka yang beriman dan beramal saleh” yang akan menrmpati derajat yang baik.

Maka olehkarnaitu kalau mau berhasil menjadi orang yang baik di hadapan Allah, tidak dapat bisa di pungkiri, tuntutan tersebut haruslah cocok dengan susunan fitrah manusia itu sendiri, baik dibidang jasmaniyah dan ruhaniyah. Tujuan yang demikian sifatnya dan tujuanya, ialah ISLAM yani agama yang diberikan Allah, cocok dengan fitrahnya manusia.

Qur’an adalah sebuah himpunan dari wahyu yang merupakan tuntutan yang dihajatkan oleh fithrah manusia itu. Tugas dari Risalah para Rasul dan kaitannya dengan tugas da’wah para mubaligh bertujuan untuk mempersatukan fithrah manusia dengan ilahy.

Kita perhatikan bagaimana Qur,an dengan daya dan gayanya mempertemukan fithrah manusi dengan wahyu ilahy, secarra ringkas.

”Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”(fusilats: 53)

Tempo-tempo dengan ringkasan kata yang berirama dan menggetarkannya panca-indar fikiran kepada fakta yang dapat dilihat oleh manusia biasa,di sekeliling kita sehari-hari.

Bahkan sering kita agak kaeras jatuhnya ketokan kepada pintu aqal dan qalbu yang sedang terlengah, tidak mau memperhatikan tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran ilahy. Permasalahan-permasalahan itu sudah banyak dilakukn pada kehidupan sehari-hari,dan itu tidak menjadi sebuah perhatian yang lebih.

Marilah kita coba renungkan pula contoh lain, bagaimana air yang menjadi salah satu sumber kehidupan mulai berkurang dan habis maka keringlah dunia ini dan semua kehidupan mati, dan di sisi lain perlu kita renungkan pula perhatian kita terhadap bumi yang kita tempati ini: Hidup di bumi ini tidak akan kekal , tiap-tiap yang bernyawa pasti akan mengalami maut dan selalau membayang bayangi, begitu pula dalam kehidupan inii kita akan diuji bagai mana kitaa menyikapi ujian itu menerima dengan hati lapang atau sebaliknya, namun pada akhirnya kita aka kembali kepada yang mencitakan alam semesta beserta isinya ini.

Tidaklah takut wahyu itu terhadap aqal, tidak berusaha menutup-utupi aqal, apa lagi sampai mematikan aqal.

Dipanggilnya pancaindra untuk memberi makan pada aqal, aqal manusia harus hidup tidak boleh mati dan lumpuh. Aqal harus bergerak dan yang menjadi motor penggeraknya adalah diri kita sendiri. Disinilah peran penting para Rasul kemudian tugas da’wah para mubaligh senantiasa bisa mengingatkan kaepada fitrah manusia itu sendiri jangan sampai lepas landas terjerumus. Akibat terjerumus mengakibatkan atas manusia itu merusakan derajat dan martabatnya sendiri, yakin apabilaa nafsu yang lebih dikedepankan dan dibiarkan berjalan tanpa kendali, merajalela ibarat binatang jalang merombak pagar, sehingga penglihatan dan pendengaran menjadi kabur, aqal dan perasaan menjadi tumpul dan lebih parahnya lagi hhati nurani menjadi bisu.

Satukali dorongan nafsu sudah dipertuan, semboyan yang dipakai: bukanlah lagi “makan untuk hidup”, tetapi “hidup untuk makan”, kalau sudah begitu, apa lagi yang dapan meniggikan derajat manusia dari makhluq binatang yang memang itulah tujuan dari hidupnya, yang riwayat hidupnya tamat di atas punggung bumi ini .

II

RISALAH MEMBINA PRIBADI DAN UMAT

“ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu[605], ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya[606] dan Sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan (Al-anfal: 24”.

1. TAUHIED DAN IBADAH TEMPAT BERTOLAK

Muhammad s.a.w sudah menyampaikan Risalahnya. Di mulainya menyampaikan kepada sekelompok umat manusia di semenanjung Arabia di tengah-tengah siapa dia dilahirkan.

Di bawah pimpinan ilahy dan dengan wahyu ilahy dituunjukannya Risalahnya kepada seluruh umat manusia. Dipanggilnya aqqal dengan makanan aqal, dipanggilnya rasa dengan makanan rasa, dilepaskannya umat yang terpencil itu, dari lingkungan mental yang sempit, dibawanya kemedan kesadaran yang luas, dibukakannya ruang sejarah, dibawanya riwayat tentang timbul tenggelamnya umat-umat yang telah lalu, dibawanya dengan cara yang mudah untuk dipahami dengan pikiran. Dapat ditangkap oleh rasa.

Dia berseru kepada manusia supaya mengenal Khaliq: “Allah, tidak ada tuhan selain Allah,”

Adapun muhammad s.a.w. adalah hamba –Nya dan utusannya “Abduhu wa Rasuluhu”. Dia bukanlah manusia yang haruus didema-demakan. Dia adalah manusia pilihan khaliq untuk menerima daan menyampaikan wahyu kepada seluruh umat manusia yang ada dimuka bumi ini.

Telah datang Rasul dan nabi silih berganti. Utusan-utusan Allaah kepada kaumnya masing-masing dan untuk zaman masing-masing.

Dipanggilnya manusia untuk menghubungkan jiwanya dengan khaliq dengan ibadah, do’a dan dzikir, langsung tanpa perantara apa-apa dan siappapun juga.

Ibadah yang ikhlas dan tertib itulah sumber kekuatan bagi jiwa dan dhahiriyah seseorang, untuk mengendalikan diri, jangan sampai terbawa hanyut oleh hawa nafsu dalam berbagai macam bentuknya.

Seseorang yang sudah membiasakan dirinya, menghubungkan jiwa dengan ilahy dengan do’a dan zikir yang khusyu’ pasti akan merasakan sendiri, bahwa itu akan merasakan sendiri, bahwa itu adalah sumber dari ketenangan dan kedamaian jiwa sehingga tidak terombang ambing oleh gelombang hidup dengan sukaa dan dukanya.



III

JEJAK RISALAH

1. PRIBADI BATU PERTAMA

Risalah Muhammad s.a.w. tidaklah berakhir pada perumusan-perumusan kaidah-kaidah falsafah yang universal dan abstrak, yang dilepaskan mengapung diawang-awang untuk dilihat dan dikagum-kagumi, atau dalil dalil theologi untuk dikunyah-kunyah sambil duduk.

Tujuan Risalah ialah untuk menghidup-sempurnakan manusia sehingga benar-benar hidup!

Dua puluh tiga tahun lamanya Nabi muhammad s.a.w. menyampaikan Risalahnya, mewujudkan kaidah-kaidah itu ditengah-tengah kekuatan jiwanya, dengan contoh teladan, dengan amal dan jihadnya, dalam suka dan duka, sampai Risalahnya terwujud pada peribadi-peribadi mereka yang menerimanya. Marilah kita turuti Risalah yang membekas pada pribadi perseorangan, sebagai anggota masyarakat.

Risalah Nabi Muhammad s.a.w. menegaskan kewajiban-kewajiban asasi manusia di samping ketentuan-ketentuan bagi hak asasi manusia. Sebenarnya “hak” dan ‘kewajiban” adalah dua nama bagi barang yang satu. Apa yang bagi seseorang merupakan kewajiban yang harus ditunaikan, merupakan hak yang harus diterima oleh yang lain.

Rrisalah Nabi Muhammmad s.a.w. bukan menjadikan perebutan hak sebagi tempat bertolak, akan tetapi perlombaan memenuhi kewajiban-kewajiban terhadap sesama manusia.

Dengan lain perkataan: latihan peribadi bukan dipusatkan pada membiasakan menurut haknya, akan tetapi pada membiasaka menghormati hak sesama manusia.

2. KELUARGA

Tidak ragu lagi, bahwa keluarga merupakan satu kesatuan (unit) yang terkecil dari masyarakat. Ia merupakan satu sendi, tempat membangun hidup bermasyarakat dan bernegara. Mutu suatu masyarakat (ummat) ditentukan oleh mutu dari kesatuan primer ini.

Risalah membangun ummat dengan memperkokoh dan mempertinggi mutu dari batu sendi itu sendiri. Dimulainya dari mendudukan hakikat dan status perkawinan dalam pembangunan keluarga. Disuburkannya hubungan antara suami dan istri, antara anak dan ibu bapak, antara anggota keluarga satu sama lain atas dasar mawaddah dan rahmah (cinta kasih) dan rasa tanggung jawab.

Perkawinan bukanlah satu formalitas seperti minta paspor atau membeli karcis kereta api. Perkawinan dan menegakkan hidup berumah tangga adalah salah satu amanah suci dari Khaliq (Allah).

Aqad nikah mempertemukan dua peribadi yang sama-sama bermartabat kemanusiaan dalam ikatan suami isteri, yang mengandung ketentuan tentang hak serta kewajiban yang sama-sama dipenuhi timbal balik.

3. JAMA’AH TERAS MASYARAKAT

Tali ukhuwwah hubungan persaudaraanantara sesama manusia direntang dari rumah-rumah kepada jiran, darisana kedalam lingkungan selanjutnya yang lebih luas, dalm berbagai bidang kehidupan sehari-hari.

Bila suatu jama’ah atau masyarakat yang hidup dalam keragaman ibaratkan dengan sebuah gedong yang indah dan kokoh, para anggautanya ibarat batu batanya yang tersusun rapi, maka apa-apa bisa disebut atensi-atensi peribadi yang “lumrah”, yang memperhubungkan dan memperlautkan bata dengan bata yang lain, sehingga terbentuk tembok yang kuat dan kokoh.



BAGIAN B

BAB I

WAJIB DA’WAH

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung. (Al-Imran).

1. TIMBANG TERIMA

Pada tanggal 9 zulhijjah tahun 10 hijriyah berlakukah satu peristiwa yang dapat dibaratkan sebagai satu peristiwa “timbang terima” antara Rasul, pembawa risalah dengan ummat yang menerima amanah da’wah. Yakni pada musim ibadah haji, yang untuk penghabisan kali disertai melakukannya oleh Rasulullah s.a.w. terkenal dengan nama “Hijjatul Wada”, haji penghabisan.

Pagi hari, setelah salat subuh, berangkatlah Rasulullah s.a.w. darri mina menuju kepadang arafah. Rasulullah s.a.w. menunggang unta beliau, Alqashwa, diiringi oleh ribuan ummat yang sama-sama melakukan ibadah haji.

Sampai di tengah-tengah lembah Arafah, Rasulullah menghentikan untanya di tempat yang tinggian. Di dekatnya berdiri Rabi’ah bin Umayah bin Khalaf, yang mempunyai suara keras dan lantang. Lalu diperintahkan oleh Rrasulullah untuk menyambung suara Rasul, agar terdengar keras oleh semmua ummah yang ada disitu.

Rasulullah tetap duduk di atas untanya agar dapat kelihatan oleh orang banyak. Diawali khutbah yang terkenal sebagi “Khutbah Wada”, khutbah perpisahan itu, dengan puji syukur kepada Allah s.a.t. diwal dengan mengambil prhatian ummat yang banyak, lalu dibayangkannya, bahwa hanya satu kali itulah lagi beliau akan berjumpa dengan mereka di padang Arafah.

Tegasnya pembawa risalah menekankan kewajiban menghormati keamanan jiwa dan hak milik antara sesama manusia dan antara bangsa dengan bangsa lain, salah satu dasar untuk memelihara keamanan dan perdamaian.

Selanjutnya Rasulullah s.a.w. mengurangi beberapa ketentuan-ketentuan yang dirasakannya perlu ditegaskan lagi, dalam pesannya yang terakhir itu:

Ø Kewajiban menyempurnakan amanah, (baik yang berupa materi ataupun tugas dan janji).

Ø Ketentuan mengenai penghapusan riba, yang memeras kaum lemah.

Ø Penegasan hak-hak dan kewajiban kaum wanita umumnya, serta kewajiban dan hak timbal balik antara suami dan istri.

Ø Pemeliharaan tali ukhuwwah islamiyah antara sesama seiman.

Ø Persamaan hak dan martabat manusia, tanpa memandang bangsa dan warna kulit.

2. WAJIB DA’WAH

(keadaan mereka) adalah sebagai Keadaan kaum Fir'aun dan orang-orang yang sebelumnya; mereka mendustakan ayat-ayat kami; karena itu Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosa mereka. dan Allah sangat keras siksa-Nya. (Al-Imran).

Islam adalah Agama risalah untuk manusia keseluruhannya.

Ummat islam adalah pemegang amanah, untuk menerusakn risalah dengan da’wah, baik sebagai ummat kepada ummat-ummat yang lain, ataupun selaku perseorangan di tempat manapun mereka berada, menurut kemampan masing-masing.

Dari ayat diatas dapat diambil kesimpulan, bahwa da’wah dalam arti luas, adalah kewajiban yang harus dipikul pler tiap-tiap Muslim dan Muslimah. Tidak boleh seorang Muslim dan Muslimah menghindarkan diri daripadanya.

Da’wah dalam ari amar ma’ruf nahi mungkar adalah syarat mutlak bagi kesempurnaan dan keselamatan idup masyarakat. Ini adalah kewajiban sebagai pembawaan fitrah manusia selalu “social being” (makhluk ijtima’ie) dan kewajiban yang ditegaskan oleh risalah, oleh kitabullah dan sunnah Rasul!

BAGIAN B

II

FIQHUD – DA’WAH

1. KEMERDEKAAN BERITIQAD DAN WILAYAH DA’WAH

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (Al-Baqarah).

Apabilaa kita perhatikan isi susunan, nada dan irama dari Wahyu Ilahy yang memanggil panca indra supaya melihat, mendengar dan sadar, lalu menggugah aqal,memanggil rasa, dan menggerakan dlamir, supaya tafakkur dan tadabbur, dan dengan demikian, sampai kepada keimanan, yang menggerakan anggauta supaya beramal, dapat kita simpulkan, bahwa itulah cara untuk menumbuhkan iman menurut “tarikatul Qur’an”.

Iman seseorang hanya dapat ditumbuhkan dalam suasana bebas, sunyi daripada tekanan dan paksaan. Memang sudah begitu bawaan dari fitrah manusia. “hati jika dipaksakan Jdi but”. Paksaan dan ancaman guna menegakkan suatu i’tiqad atau doktrin, paling banyak menghasilkan pengakuan palsu, dan menambah banyak “permainan- permainan sandiwra”, yang bersedia membeo untuk mengemudikan pemaksa, guna keselamatan sndiri.

2. PERSIAPAN MUBALIGH

Al-Qur’an menegakkan kemerdekaan berfikir dan beri’tiqad, sebagai salah satu hak asasi manusia, dan salah satu qaidah agama yang utama. Maka da’wah yang sesuai dengan tariqati-Qur’an, harus dilakukan dalam rangka menghormati qaidah kemedekaan berfikir dan beri’tiqad itu.

Seorang mubaligh berhadapan dua hal:

- Ada wajib da’wah yang harus ditunaikan; dan

- Ada kemerdekaan beri’tiqad yang harus dihormati

Teranglah, bahwa bukan pada alat-alat pemaksa dan teknik-teknik mempesona seorang mubaligh harus mencari kekuatannya. Kedua-duanya bergantung kepada:

Persiapan mentalnya,

Persiapan ilmiyahnya.

Kaifiat dan adab da’wahnya.

a. Pembiasaan mental (Al-I’dad Al-Fakri)

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus. (Al-Bayyinah).

Sebagaimana telah kita kemukakan dalam BAB sebelumnya “jejak risalah”. Pertumbuhan ummat islam, diibaratkan seperti Al-Qu’an dengan pertumbuhan suatu benih yang pada mulanya memancarkan tunas, yang lambat laun berangsur-angsur mengurangi kelopak, bertambah kuat, akhirnya duduk terhujam pada batangnya, “menta’jub yang pada mulanya memancarkan tunas, yang lambat laun berangsur-angsur mengurangi kelopak, bertambah kuat, akhirnya duduk terhujam pada batangnya, “menta’jubkan dan menggembirakan hati petani yang menanamnya.

b. Persiapan Ilmiiyah

Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik" (yusuf: 108).

Seorang petani turun kesawah, dengan pengharapan bahwa tanamannya akan jadi, dan garapannya akan berhasil sebagaimana yang diidamkannya.

Untuk itu ia harus mengetahui cara bercocok taanam, tahu apa jenis benih dan sifat benih yang akan ditebarkan. Bagaimana keadaan tanah, tempat menanamnya, keadaan iklim dan pertukaran musim, apa pantangan-pantangan yang harus dihindarkan, apa macam hama yang akan mengganggu tanaman dan bagaimana memberantasnya.

Begitu pula dengan seoramg muballigh membawakan da’wah dan tujuan membina peribadi dan membangun ummat, sehingga peribadi dan ummat itu berkembang maju sesuai dengan tujuan hidup manusia yang diridhoi oleh Allah.

III

KAIFIAT DAN ADAB DA’WAH

1. HIKMAH

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”(An-Nahl:125).”

a. Hikmah dallam arti “mengenal golongan”

Bila seorang pembawa dak’wah sudah mengayunkan langkah, bermacam corak manusia yang akan jumpainya. Syeikh Muhammad Abduh; menyimpulkan dari Al-Quran diatas bahwa dalam garis besarnya,umat yang dihadapi seorang pembawa da”wah dapat dibagi atas tiga golongan, yang masing-masingnya harus dihadapi dengan cara yang berbeda-beda puia :

1. Ada golongan cerdik-cendikiawan yang cinta kebenaran, dan dapat berfikir secara kritis, cepat dapat menangkap arti persoalan. Mereka ini harus dipanggil dengan “Hikmah”, yakni dengan alasan- alasan, dengan dalil dan hujjah yang dapat diterima oleh kekuatan aqal.
2. Ada golongan awam, orang kebanyakan yang belum dapat berfikir secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian yang tinggi-tinggi dengan”mauidzatun hasanah”, dengan anjuran dan didikan, yang baik-baik, dengan ajaran-ajaran yang mudah difaham.
3. Ada golongan yang tingkat kecerdasannya di antara kedua golongan tersebut, belum dapat dicapai dengan “Hikmah”, akan tetapai tidak akan sesuai pula, bila dilayani seperti golongan awam; mereka suka membahas sesuatu, tetapi tidak hanya dalam batas yang tertentu, tidak sanggup mendalam benar. Mereka ini dipanggil dengan “mujadalah billati hiya ahsan”, yakni dengan bertukar fikiran, guna mendorong supaya berfikir, secara sehat, satu dan lainnya dengan cara yang lebih baik.

Demikian Syekh Muhammmad Abduh mengatakan seperti sabda Nabi: ”berbicaralah kepada manusia menurut kadar aqal (kecerdasan) mereka masing-masing.(HR. Muslim).

b. Hikmah, dalam arti kemampuan memilih saat, bila harus berbicara, bila harus diam

Tatkala pada permulaan rislah, Muhammadn s.a.w. menerima perintah Ilahy :

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat,(Asy-Syu’ara:214).”

Maka Rasulullah s.a.w. mengundang para anggota keluarga beliau yang terdekat untuk makan bersama-sama di rumah beliau. Yang hadir ada kira-kira 40 orang, di antaranya paman beliau, Abu Lahab, setelah selsai makan, Rasulillah s.a.w. bersiap-siap hendak menyampaikan Risalahnya. Akan tetapi Abu Lahab memotong jalan,. Dia bangun lebih dahulu, lalu berkata dengn suara yang lantang dan penuh nafsu:

“Mereka yang hadir ini adalah sadara-saudar bapakmu dan anak-anak keturunan dari saudar-saudar bapakmu. Maka (sekarang) berbicaralah! Dan hentikan penyelewenganmu (dari agamamu) itu.”

“Janganlah engkau menyerang agama kaum-mu, jangan kamu serahkan mereka kepada kemarahan bangsa Arab, sebab sesungguhnya kaum-mu tidak akan sanggup melawan bangsa Arab keseluruhannya.mereka (kaum-mu) tidak sanggup berperang dengan mereka.”

“Kaum-mu sudah tahu maksudmu, hendak merobah agama mereka. Tidak tersembunyai bagi mereka, apa urusan-mu (yang sebenarnya), dan bahwa engkau mengajak mereka kepada penyelewengan, (mengajak mereka) sepaya keluar dari tradisi nenek moyang (kita).”

"awaslah, jaga keselamatan dirimu dan keselamatan keturunan bapakmu. Ketahuilah bahwa bangsa Arab tidak akan membiarkanmu, (begitu saja), tidak sukar bagi mereka untuk menyerang-mu dan membunuh-mu.”

“kembalilah kepada agama bapak-mu dan nenek moyang-mu. Itulah lebib baik bagimu kalau kamu. Tidak, kami akan penjarakan engkau sampai engkau sehhat kembali dari penyakit-mu itu, sehingga kami daapat melindungomu dari 9kemurkaan) bangsa Arab.

Abu Lahab berkata dengan nafsu namun nabi tidak diam tidak menjawab, tapi itu bukan berarti tidak bias menjawab namun akan lebih diam jikaa dib balas dengan jawaban akan mengakibatkan pertengkaran.

c. Hikmah, dalam mengadakan kontak pemikiran dan mencari titik temu, sebagi tempat bertolak, untuk maju secara sistematis
Sudah menjadi tabiat tabiat manusia pada umumnya, syukur menerima sesuatu pemikiran baru yang dirasakan sebagai pemikiran baru yang dirasakan sebagai pemikiran yang asing sama sekali. Orang lebih mudah menerima, sekurang-kurangnya lebih lekas memberikan minat dan perhatiannya kepada sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan apa yang sudah ada hidup dalam alam fikiran dan perasaannya, yakni apa yang dikenal dalam ilmu jiwa istilah “apersepsi” ataupun sesuatu yang dirasakan langsung mengenai kepentingan mereka sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar